Kyai dan Gus: Sebuah Kontradiksi di Masa Kini

Kiai adalah anugrah dan warisan terbaik islam di Nusantara. Di negara lain hanya ada istilah ustadz, ulama atau amir saja untuk menyebut pemuka agama Islam. Sedangkan di Indonesia, yang membedakan kiai dengan ustadz biasa adalah kepemimpinan dalam pesantren atau jamaah masjid, jika beliau memimpin pesantren atau sub-pesantren, maka dia disebut kiai, jika tidak maka beliau disebut ustadz saja. Dari sisi fungsional, kiai dijadikan pemimpin atau rujukan, sedangkan ustadz biasanya untuk seorang penceramah atau pemberi siraman rohani agama Islam.

Istilah kiai berasal dari bahasa Jawa (Sansekerta), bukan berasal dari bahasa Arab. Kata “kiai” mempunyai makna yang agung, keramat, dan dituakan. Secara umum dan pengertian paling luas, kiai diartikan pemimpin pesantren, muslim yang membaktikan hidupnya untuk menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran agama Islam. Selain pengertian tersebut, pengertian kiai juga dipakai untuk benda pusaka (keris, gamelan), hewan (kerbau, kuda), makhluk halus dan orang yang meninggal. Namun dalam tulisan ini, istilah kiai hanya digunakan dan diusulkan sebagai pemuka agama Islam saja, khususnya hubungan kiai dan putranya, yang di daerah Jawa Timur disebut sebagai “Gus”.

Kiai adalah cikal bakal pesantren. Karena ilmunya, santri pencari ilmu datang ke kiai untuk menimba ilmu. Untuk mengembangkan aktivitas keagamaannya, kiai mendirikan surau atau masjid di dekat rumahnya yang juga dijadikan tempat mengajar santrinya. Seiring waktu, semakin banyak santri yang datang pada kiai dan dibangunlah pesantren untuk mewadahi aktivitas kiai-santri dalam proses belajar-mengajar agama Islam.

Kiai dan Peranannya
Sebagai pemimpin pesantren dan imam masjid, kedudukan kiai menjadi sentral masyarakat. Banyak pesantren yang mengalami kemerosotan dan masjid mengalami degenerasi setelah ditinggal kiainya (wafat). M. Habib Chirzin [2] mengatakan bahwa peran kiai sangat besar sekali dalam bidang penanganan iman, bimbingan amaliyah, penyebaran dan pewarisan ilmu, pembinaan akhlak, pendidikan beramal, dan memimpin serta menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh santri dan masyarakat. Dan dalam hal pemikiran kiai lebih banyak berupa terbentuknya pola berpikir, sikap, jiwa, serta orientasi tertentu untuk memimpin sesuai dengan latar belakang kepribadian kiai. kiai merupakan pengajar utama di pesantren, dimana kitab-kitab yang diajarkan dan dikaji di pesantren tersebut umumnya adalah kitab yang dikuasai dengan baik oleh kiainya. Pengajian tersebut biasanya dengan menggunakan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren menurut Zamakhsyari Dhofir [2] dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi), (7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah.

Karena vitalnya peran kiai tersebut, maka regenerasi kiai sangat penting. Suksesi kiai biasanya dilanjutkan oleh putranya yang biasa disebut gus. Ibarat tanaman, mangga yang manis, bijinya jika ditaman pasti akan menghasilkan mangga yang manis pula, ini jika lingkungannya dijaga dengan baik. Begitu pula putra kiai, jika dipersiapkan dengan baik, tentu pada masanya bisa menggantikan peran ayahnya sebagai pimpinan pesantren, pimpinan masjid dan masyarakat. Sistem regenerasi semacam ini mirip dengan perusahaan-perusahaan di Jepang dimana pimpinan perusahaan adalah putra pimpinan perusahaan sebelumnya. Pimpinan perusahaan saat ini tersebut juga akan mengorbitkan putranya sebagai penggantinya kelak selama dia melihat putranya memiliki kecakapan untuk memimpin perusahaannya. Jika tidak dia akan menunjuk orang lain sebagai penggantinya.

Seorang kiai layak untuk dihormati namun bukan untuk dikultuskan, begitu juga putranya. Namun sayangnya, banyak putra kiai yang memanfaatkan penghormatan orang tuanya, padahal yang menjadi orang tua nya bukan dia, dan tidak juga belum tentu menjadi kiai. Menghormati putra kiai boleh dan sangat baik untuk menghormati orang tuanya. Namun apa yang terjadi bila terjadi pengkultusan? Pengkultusan akan menyebabkan kesombongan. Putra kiai, yang umum dipanggil “Gus” akan menjadi congkak. Sifat ini tentu tidak akan menjadikan “gus” sebagai kiai yang dapat dijadikan panutan di kemudian hari.

Hampir semua kiai mengharapkan putranya menjadi penggantinya kelak. Nabi Dawud mempersiapkan putranya hingga menjadi nabi dan raja. Namun bagaimana dengan Nabi Nuh..? Sebegitu kuatnya dia berharap agar anaknya ikut bersamanya, namun akhirnya salah putranya, Kan’an, tidak mau mengikuti ajarannya, bahkan tewas tenggelam. Film “Sang Kiai” adalah salah satu cerita sukses kiai Nusantara. KH Hasyim Asya’ari mampu mengkader putra-putranya menjadi penerusnya, sekaligus menjadi motor penggerak pergerakan nasional pada era kemerdekaan dan pasca kemerdekaan.

Pergeseran Makna Gus
Panggilan gus, dari berbagai literatur, dapat dirunut dari dua muasal. Pertama panggilan gus merupakan singkatan dari “bocah bagus”, panggilan sayang orang tuanya agar anaknya menjadi orang yang baik, yang mungkin saja saat itu mbelingnya gak ketulungan. Banyak cerita putra kiai yang nakalnya minta ampun, suka minum dan anarkhis, tapi suatu ketika dia tobat dan menjadi kiai melanjutkan perjuangan ayahandanya. Panggilan “gus” juga mungkin berasal dari bahasa arab yaitu Al Ghauts, nama bagi pemimpin para wali – sebagaimana dipaparkan oleh Ibnu ‘Araby dalam Futuhat al Makkiyah -dan kemudian menjadi istilah tersendiri dalam masyarakat Jawa pada khususnya dan Indonesia pada umumnya [1]. Akhir-akhir ini istilah “Gus” yang biasanya digunakan untuk menyebut putra kiai tereduksi, sampai-sampai ada orang yang hanya punya kemampuan pas-pasan dalam bidang perdukunan atau menyadarkan orang yang pingsan (baca: kesurupan) dipanggil dengan nama gus, anak kiai langgar cilik juga dipanggil dengan Gus LC, anak guru ngaji alif, ba, ta yang kebetulan lama belajar di pesantren juga dipanggil dengan sebutan gus. Juga pada penamaan-penamaan lain yang menyimpang dari wadh’inya. Walhasil istilah “Gus” telah mengalami penurunan makna dari yang dulunya disematkan untuk penghormatan sekarang telah beralih fungsi menjadi bahan olok-olokan atau sebagai untuk profesi tertentu [1]. Menyempitnya makna gus tersebut menjadikan kita miris, bukan penghormatan yang didapat namun malah olok-olokan.

Melalui tulisan ini penulis mengusulkan untuk hanya menggunakan kata gus untuk yang benar-benar gus, putra kiai yang meneladani dan melanjutkan perjuangan ayahnya. Begitu juga dengan istilah kiai sebagai warisan nusantara. Panggilan kiai hendaknya hanya kita gunakan untuk ulama pemimpin pesantren, bukan pada keris, kerbau, kuda, kereta dan benda-benda lainnya. Panggilan Kiai sebagai warisan Islam di Nusantara hendaknya juga tidak dengan mudah kita berikan pada mereka yang belum menguasai Islam secara kaffah. Ini semua semata-mata untuk menghargai dan menghormati mereka pewaris nabi di tanah nusantara.

Kita juga seharusnya hati-hati memberi gelar kiai kepada pemuka agama kita. Zaman dahulu, tidak ada yang berani mengolok-olok kiai karena takut kualat. Namun kini, foto kiai pun diinjak-injak. Bahkan, beberapa kiai sampai masuk bui dan mendekam dibalik jeruji penjara, beberapa diantaranya dijerat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan dakwaan korupsi. Sungguh hal yang sangat memalukan.

Akhirnya, kiai tidak hanya kita hormati dan kita banggakan, terutama oleh para putranya. Namun juga kita teladani dan lanjutkan perjuangannya.

Gus, bukan hanya orang tua mu saja yang kita banggakan, tapi beliau lah yang kita teladani. Kalau ayahmu seorang kiai yang telah menghasilkan banyak karya, terus apa karyamu “Gus”? Kalau ayahmu seorang kiai, kamu seorang apa “Gus”? Kalau ayahmu yang kiai sudah menulis banyak kitab, berapa kitab yang sudah kau tulis “Gus”?

*) Penulis Bukan anak seorang kiai

Referensi

  1. M. Habib Chirzin, 1983: 94 (https://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren)
  2. Zamakhsyari Dhofier The Pesantren Tradition: A Study of the Role of the kiai in the Maintenance of the Traditional Ideology of Islam in Java Tempe, AZ: Arizona State University Program for Southeast Asian Studies Monograph Series.
  3. http://two-ink.blogspot.com/2011/10/gus-emen.html 
  4. muslimedianews.com, http://www.tasbihnews.com, http://www.moslemforall.com,
  5. http://www.cyberdakwah.com, http://www.beritaempat.com, http://www.beritateratas.com, www.arrahmah.co.id, etc.

Kyai dan Gus: Sebuah Kontradiksi di Masa Kini

Kiai adalah anugrah dan warisan terbaik islam di Nusantara. Di negara lain hanya ada istilah ustadz, ulama atau amir saja untuk menyebut pemuka agama Islam. Sedangkan di Indonesia, yang membedakan kiai dengan ustadz biasa adalah kepemimpinan dalam pesantren atau jamaah masjid, jika beliau memimpin pesantren atau sub-pesantren, maka dia disebut kiai, jika tidak maka beliau disebut ustadz saja. Dari sisi fungsional, kiai dijadikan pemimpin atau rujukan, sedangkan ustadz biasanya untuk seorang penceramah atau pemberi siraman rohani agama Islam.

Istilah kiai berasal dari bahasa Jawa (Sansekerta), bukan berasal dari bahasa Arab. Kata “kiai” mempunyai makna yang agung, keramat, dan dituakan. Secara umum dan pengertian paling luas, kiai diartikan pemimpin pesantren, muslim yang membaktikan hidupnya untuk menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran agama Islam. Selain pengertian tersebut, pengertian kiai juga dipakai untuk benda pusaka (keris, gamelan), hewan (kerbau, kuda), makhluk halus dan orang yang meninggal. Namun dalam tulisan ini, istilah kiai hanya digunakan dan diusulkan sebagai pemuka agama Islam saja, khususnya hubungan kiai dan putranya, yang di daerah Jawa Timur disebut sebagai “Gus”.

Kiai adalah cikal bakal pesantren. Karena ilmunya, santri pencari ilmu datang ke kiai untuk menimba ilmu. Untuk mengembangkan aktivitas keagamaannya, kiai mendirikan surau atau masjid di dekat rumahnya yang juga dijadikan tempat mengajar santrinya. Seiring waktu, semakin banyak santri yang datang pada kiai dan dibangunlah pesantren untuk mewadahi aktivitas kiai-santri dalam proses belajar-mengajar agama Islam.

Kiai dan Peranannya
Sebagai pemimpin pesantren dan imam masjid, kedudukan kiai menjadi sentral masyarakat. Banyak pesantren yang mengalami kemerosotan dan masjid mengalami degenerasi setelah ditinggal kiainya (wafat). M. Habib Chirzin [2] mengatakan bahwa peran kiai sangat besar sekali dalam bidang penanganan iman, bimbingan amaliyah, penyebaran dan pewarisan ilmu, pembinaan akhlak, pendidikan beramal, dan memimpin serta menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh santri dan masyarakat. Dan dalam hal pemikiran kiai lebih banyak berupa terbentuknya pola berpikir, sikap, jiwa, serta orientasi tertentu untuk memimpin sesuai dengan latar belakang kepribadian kiai. kiai merupakan pengajar utama di pesantren, dimana kitab-kitab yang diajarkan dan dikaji di pesantren tersebut umumnya adalah kitab yang dikuasai dengan baik oleh kiainya. Pengajian tersebut biasanya dengan menggunakan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren menurut Zamakhsyari Dhofir [2] dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi), (7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah.

Karena vitalnya peran kiai tersebut, maka regenerasi kiai sangat penting. Suksesi kiai biasanya dilanjutkan oleh putranya yang biasa disebut gus. Ibarat tanaman, mangga yang manis, bijinya jika ditaman pasti akan menghasilkan mangga yang manis pula, ini jika lingkungannya dijaga dengan baik. Begitu pula putra kiai, jika dipersiapkan dengan baik, tentu pada masanya bisa menggantikan peran ayahnya sebagai pimpinan pesantren, pimpinan masjid dan masyarakat. Sistem regenerasi semacam ini mirip dengan perusahaan-perusahaan di Jepang dimana pimpinan perusahaan adalah putra pimpinan perusahaan sebelumnya. Pimpinan perusahaan saat ini tersebut juga akan mengorbitkan putranya sebagai penggantinya kelak selama dia melihat putranya memiliki kecakapan untuk memimpin perusahaannya. Jika tidak dia akan menunjuk orang lain sebagai penggantinya.

Seorang kiai layak untuk dihormati namun bukan untuk dikultuskan, begitu juga putranya. Namun sayangnya, banyak putra kiai yang memanfaatkan penghormatan orang tuanya, padahal yang menjadi orang tua nya bukan dia, dan tidak juga belum tentu menjadi kiai. Menghormati putra kiai boleh dan sangat baik untuk menghormati orang tuanya. Namun apa yang terjadi bila terjadi pengkultusan? Pengkultusan akan menyebabkan kesombongan. Putra kiai, yang umum dipanggil “Gus” akan menjadi congkak. Sifat ini tentu tidak akan menjadikan “gus” sebagai kiai yang dapat dijadikan panutan di kemudian hari.

Hampir semua kiai mengharapkan putranya menjadi penggantinya kelak. Nabi Dawud mempersiapkan putranya hingga menjadi nabi dan raja. Namun bagaimana dengan Nabi Nuh..? Sebegitu kuatnya dia berharap agar anaknya ikut bersamanya, namun akhirnya salah putranya, Kan’an, tidak mau mengikuti ajarannya, bahkan tewas tenggelam. Film “Sang Kiai” adalah salah satu cerita sukses kiai Nusantara. KH Hasyim Asya’ari mampu mengkader putra-putranya menjadi penerusnya, sekaligus menjadi motor penggerak pergerakan nasional pada era kemerdekaan dan pasca kemerdekaan.

Pergeseran Makna Gus
Panggilan gus, dari berbagai literatur, dapat dirunut dari dua muasal. Pertama panggilan gus merupakan singkatan dari “bocah bagus”, panggilan sayang orang tuanya agar anaknya menjadi orang yang baik, yang mungkin saja saat itu mbelingnya gak ketulungan. Banyak cerita putra kiai yang nakalnya minta ampun, suka minum dan anarkhis, tapi suatu ketika dia tobat dan menjadi kiai melanjutkan perjuangan ayahandanya. Panggilan “gus” juga mungkin berasal dari bahasa arab yaitu Al Ghauts, nama bagi pemimpin para wali – sebagaimana dipaparkan oleh Ibnu ‘Araby dalam Futuhat al Makkiyah -dan kemudian menjadi istilah tersendiri dalam masyarakat Jawa pada khususnya dan Indonesia pada umumnya [1]. Akhir-akhir ini istilah “Gus” yang biasanya digunakan untuk menyebut putra kiai tereduksi, sampai-sampai ada orang yang hanya punya kemampuan pas-pasan dalam bidang perdukunan atau menyadarkan orang yang pingsan (baca: kesurupan) dipanggil dengan nama gus, anak kiai langgar cilik juga dipanggil dengan Gus LC, anak guru ngaji alif, ba, ta yang kebetulan lama belajar di pesantren juga dipanggil dengan sebutan gus. Juga pada penamaan-penamaan lain yang menyimpang dari wadh’inya. Walhasil istilah “Gus” telah mengalami penurunan makna dari yang dulunya disematkan untuk penghormatan sekarang telah beralih fungsi menjadi bahan olok-olokan atau sebagai untuk profesi tertentu [1]. Menyempitnya makna gus tersebut menjadikan kita miris, bukan penghormatan yang didapat namun malah olok-olokan.

Melalui tulisan ini penulis mengusulkan untuk hanya menggunakan kata gus untuk yang benar-benar gus, putra kiai yang meneladani dan melanjutkan perjuangan ayahnya. Begitu juga dengan istilah kiai sebagai warisan nusantara. Panggilan kiai hendaknya hanya kita gunakan untuk ulama pemimpin pesantren, bukan pada keris, kerbau, kuda, kereta dan benda-benda lainnya. Panggilan Kiai sebagai warisan Islam di Nusantara hendaknya juga tidak dengan mudah kita berikan pada mereka yang belum menguasai Islam secara kaffah. Ini semua semata-mata untuk menghargai dan menghormati mereka pewaris nabi di tanah nusantara.

Kita juga seharusnya hati-hati memberi gelar kiai kepada pemuka agama kita. Zaman dahulu, tidak ada yang berani mengolok-olok kiai karena takut kualat. Namun kini, foto kiai pun diinjak-injak. Bahkan, beberapa kiai sampai masuk bui dan mendekam dibalik jeruji penjara, beberapa diantaranya dijerat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan dakwaan korupsi. Sungguh hal yang sangat memalukan.

Akhirnya, kiai tidak hanya kita hormati dan kita banggakan, terutama oleh para putranya. Namun juga kita teladani dan lanjutkan perjuangannya.

Gus, bukan hanya orang tua mu saja yang kita banggakan, tapi beliau lah yang kita teladani. Kalau ayahmu seorang kiai yang telah menghasilkan banyak karya, terus apa karyamu “Gus”? Kalau ayahmu seorang kiai, kamu seorang apa “Gus”? Kalau ayahmu yang kiai sudah menulis banyak kitab, berapa kitab yang sudah kau tulis “Gus”?

*) Penulis Bukan anak seorang kiai

Referensi

  1. M. Habib Chirzin, 1983: 94 (https://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren)
  2. Zamakhsyari Dhofier The Pesantren Tradition: A Study of the Role of the kiai in the Maintenance of the Traditional Ideology of Islam in Java Tempe, AZ: Arizona State University Program for Southeast Asian Studies Monograph Series.
  3. http://two-ink.blogspot.com/2011/10/gus-emen.html 
  4. muslimedianews.com, http://www.tasbihnews.com, http://www.moslemforall.com,
  5. http://www.cyberdakwah.com, http://www.beritaempat.com, http://www.beritateratas.com, www.arrahmah.co.id, etc.

Free Download: Menakar Kesalehan

Ketika seorang teman yang juga pengasuh Kursus bahasa Inggris Ewep meminta saya untuk mereview bukunya, saya langsung mengiyakan. Buku ini cukup sederhana, mudah dimengerti, dan hanya memerlukan waktu singkat untuk membacanya.

Sampul cover “Menakar Kesalehan”

Menakar Kesalehan adalah kumpulan artikel karya C.H Amin yang berisi tentang artikel-artikel untuk mengukur sejauh mana kesalehan kita, salah satu subbabnya sendiri juga berjudul: Menakar kesalehan. Dalam menulis buku ini, saudara C.H. Amin berusaha untuk netral dengan memasukkan rujukan dari golongan-golongan Islam yang ada di Indonesia, jadi buku ini sangat cocok untuk dibaca untuk umat Islam dari golongan apapun.

Membaca buku ini membuat saya beristighfar, kualitas kesalehan saya sangat juauh dari ideal, atau bahkan dari kesalehan minimal. Membaca buku ini juga mengingatkan saya untuk terus meningkatkan kualitas kesalehan yang juga berarti meningkatkan kualitas hidup dari sisi spiritual. Tertarik? silakan download disini. Tidak atau belum tertarik? Silakan baca dulu, barangkali buku ini adalah buku yang selama ini anda cari-cari. Buku ini gratis dan legal, menyebarkannya bisa jadi menambah pundi-pundi amal anda.

p.s: Jika anda menemukan kesalahan penulisan dalam buku tersebut, silahkan kontak saya.

Menakar Kesalehan

Ketika seorang teman yang juga pengasuh Kursus bahasa Inggris Ewep meminta saya untuk mereview bukunya, saya langsung mengiyakan. Buku ini cukup sederhana, mudah dimengerti, dan hanya memerlukan waktu singkat untuk membacanya.

Sampul cover “Menakar Kesalehan”

Menakar Kesalehan adalah kumpulan artikel karya C.H Amin yang berisi tentang artikel-artikel untuk mengukur sejauh mana kesalehan kita, salah satu subbabnya sendiri juga berjudul: Menakar kesalehan. Dalam menulis buku ini, saudara C.H. Amin berusaha untuk netral dengan memasukkan rujukan dari golongan-golongan Islam yang ada di Indonesia, jadi buku ini sangat cocok untuk dibaca untuk umat Islam dari golongan apapun.

Membaca buku ini membuat saya beristighfar, kualitas kesalehan saya sangat juauh dari ideal, atau bahkan dari kesalehan minimal. Membaca buku ini juga mengingatkan saya untuk terus meningkatkan kualitas kesalehan yang juga berarti meningkatkan kualitas hidup dari sisi spiritual. Tertarik? silakan download disini. Tidak atau belum tertarik? Silakan baca dulu, barangkali buku ini adalah buku yang selama ini anda cari-cari. Buku ini gratis dan legal, menyebarkannya bisa jadi menambah pundi-pundi amal anda.

p.s: Jika anda menemukan kesalahan penulisan dalam buku tersebut, silahkan kontak saya.

UPDATE (April 2016):
Buku ini saat ini telah tersedia dalam hardcopy dengan harga Rp. 20.000,-. Silahkan kontak penulisnya langsung, Ch. Amin untuk mendapatkan versi cetak dari buku tersebut.
Ch. Amin
Jl. Mulyorejo Tengah 41
Telp. 031-599-4341, HP. 0821 4129 9953

Edisi Cetak dari Menakar Kesalehan

Masa Iddah Wanita dan Sidik Jari Pria

Robert Guilhem, pakar genetika dan pemimpin yahudi di Albert Einstein College menyatakan dengan tegas soal keislamannya. Dia masuk Islam setelah kagum dengan ayat-ayat Al Quran tentang masa ‘iddah wanita muslimah selama tiga bulan.

Hasil studi itu menyimpulkan hubungan intim suami istri menyebabkan laki-laki meninggalkan sidik khususnya pada perempuan. Dia mengatakan jika pasangan suami istri (pasutri) tidak bersetubuh, maka tanda itu secara perlahan-lahan akan hilang antara 25-30 persen. Guilhem menambahkan, tanda tersebut akan hilang secara keseluruhan setelah tiga bulan berlalu. Karena itu, perempuan yang diceraiakan siap menerima sidik khusus laki-laki lainnya setelah tiga bulan.

Massa ‘iddah merupakan massa tunggu perempuan selama tiga bulan, selama proses dicerai suaminya. Seperti dikutip dari society berty.com, hasil penelitian yang dilakukannya menunjukkan, massa ‘iddah wanita sesuai dengan ayat-ayat yang tercantum di Al Quran surat Al-Baqoroh ayat 228,

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Artinya:

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (2:228).

Dalam menafsirkan maksud kalimat quru’ terdapat 2 pendapat, pertama : menurut Imam Syafi’i quru’ berarti suci sedangkan menurut Imam Abu Hanifah berarti haid (menstruasi). Dengan penafsiran yang berlawanan ini berakibat perbedaan jangka waktu menunggu 3 kali quru’.

Quru menurut madzab Imam Syafi’i artinya setelah diceraikan oleh suaminya (diceraikan harus dalam keadaan suci),  maka jika teratur akan ketemu tiga kali quru’ adalah tiga bulan.  namun jika menurut  madzab Hanafi maka akan ketemu jangka waktu yang lebih lama [3].

             1 : haid                 : belum dihitung
2 : suci : dihitung satu kali quru'
3 : haid : tidak dihitung
4 : suci : dihitung dua kali quru'
5 : haid : tidak dihitung
6 : suci : dihitung tiga kali quru'

Bukti empiris Quran tersebut mendorong pakar genetika Yahudi ini melakukan penelitian dan pembuktian lain di sebuah perkampungan Muslim Afrika di Amerika. Dalam studinya, ia menemukan setiap wanita di sana hanya mengandung sidik khusus dari pasangan mereka saja.

Penelitian serupa dilakukannya di perkampungan non muslim Amerika. Hasil penelitian membuktikan wanita di sana yang hamil memiliki jejak sidik dua hingga tiga laki-laki. Ini berarti, wanita-wanita non-muslim di sana melakukan hubungan intim selain pernikahannya yang sah.

Sang pakar juga melakukan penelitian kepada istrinya sendiri. Hasilnya menunjukkan istrinya ternyata memiliki tiga rekam sidik laki-laki alias istrinya berselingkuh. Dari penelitiannya, hanya satu dari tiga anaknya saja berasal dari dirinya.

Setelah penelitian-penelitian tersebut, dia akhirnya memutuskan untuk masuk Islam. Ia meyakini hanya Islamlah yang menjaga martabat perempuan dan menjaga keutuhan kehidupan sosial. Ia yakin bahwa perempuan muslimah adalah yang paling bersih di muka bumi ini.

Note: Kebenaran berita republika di sumber yang disebutkan di bawah ini perlu di klarifikasi lagi lagi karena di sumber [2] tidak ditemukan nama Robert Guilhem di Albert Eistein College of Medicine.

source:
[1]. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/celoteh-kang-erick/14/03/23/n2vfnv-masa-iddah-dan-kebenaran-islam
[2] http://www.einstein.yu.edu/search/?q=robert%20guilhem&searchType=faculty
[3]  https://id.wikipedia.org/wiki/Quru%27
[4] http://chooff.fr/1369342113

Masa Iddah Wanita dan Sidik Jari Pria

Robert Guilhem, pakar genetika dan pemimpin yahudi di Albert Einstein College menyatakan dengan tegas soal keislamannya. Dia masuk Islam setelah kagum dengan ayat-ayat Al Quran tentang masa ‘iddah wanita muslimah selama tiga bulan.

Hasil studi itu menyimpulkan hubungan intim suami istri menyebabkan laki-laki meninggalkan sidik khususnya pada perempuan. Dia mengatakan jika pasangan suami istri (pasutri) tidak bersetubuh, maka tanda itu secara perlahan-lahan akan hilang antara 25-30 persen. Guilhem menambahkan, tanda tersebut akan hilang secara keseluruhan setelah tiga bulan berlalu. Karena itu, perempuan yang diceraiakan siap menerima sidik khusus laki-laki lainnya setelah tiga bulan.

Massa ‘iddah merupakan massa tunggu perempuan selama tiga bulan, selama proses dicerai suaminya. Seperti dikutip dari society berty.com, hasil penelitian yang dilakukannya menunjukkan, massa ‘iddah wanita sesuai dengan ayat-ayat yang tercantum di Al Quran surat Al-Baqoroh ayat 228,

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Artinya:

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (2:228).

Dalam menafsirkan maksud kalimat quru’ terdapat 2 pendapat, pertama : menurut Imam Syafi’i quru’ berarti suci sedangkan menurut Imam Abu Hanifah berarti haid (menstruasi). Dengan penafsiran yang berlawanan ini berakibat perbedaan jangka waktu menunggu 3 kali quru’.

Quru menurut madzab Imam Syafi’i artinya setelah diceraikan oleh suaminya (diceraikan harus dalam keadaan suci),  maka jika teratur akan ketemu tiga kali quru’ adalah tiga bulan.  namun jika menurut  madzab Hanafi maka akan ketemu jangka waktu yang lebih lama [3].

             1 : haid                 : belum dihitung
2 : suci : dihitung satu kali quru'
3 : haid : tidak dihitung
4 : suci : dihitung dua kali quru'
5 : haid : tidak dihitung
6 : suci : dihitung tiga kali quru'

Bukti empiris Quran tersebut mendorong pakar genetika Yahudi ini melakukan penelitian dan pembuktian lain di sebuah perkampungan Muslim Afrika di Amerika. Dalam studinya, ia menemukan setiap wanita di sana hanya mengandung sidik khusus dari pasangan mereka saja.

Penelitian serupa dilakukannya di perkampungan non muslim Amerika. Hasil penelitian membuktikan wanita di sana yang hamil memiliki jejak sidik dua hingga tiga laki-laki. Ini berarti, wanita-wanita non-muslim di sana melakukan hubungan intim selain pernikahannya yang sah.

Sang pakar juga melakukan penelitian kepada istrinya sendiri. Hasilnya menunjukkan istrinya ternyata memiliki tiga rekam sidik laki-laki alias istrinya berselingkuh. Dari penelitiannya, hanya satu dari tiga anaknya saja berasal dari dirinya.

Setelah penelitian-penelitian tersebut, dia akhirnya memutuskan untuk masuk Islam. Ia meyakini hanya Islamlah yang menjaga martabat perempuan dan menjaga keutuhan kehidupan sosial. Ia yakin bahwa perempuan muslimah adalah yang paling bersih di muka bumi ini.

Note: Kebenaran berita republika di sumber yang disebutkan di bawah ini perlu di klarifikasi lagi lagi karena di sumber [2] tidak ditemukan nama Robert Guilhem di Albert Eistein College of Medicine.

Sources:

Belajar Membaca Al-Quran di Global Quran School

Tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat, begitu sabda baginda Nabi. Belajar agama (sebagian ahli berpendapat bahwa yang diwajibkan hanyal ilmu agama saja), juga harus dilakukan dari kecil sampai ajal menjemput. Sebagai usaha untuk mentaati hadist tersebut, meski sudah belajar ngaji Quran sejak kecil, sampai kini saya masih belajar dan akan terus belajar, khususnya belajar Islam dan membaca Quran dengan baik dan benar. Dari orang-tua, TPA, sekolah umum, pesantren hingga beberapa ustadz, ulama dan kyai, saya pernah berguru kepada mereka. Berganti zaman, kini guru ngaji saya bertambah, si internet dengan mbah gugel yang super jenius dan beberapa halaman  (web page) favorit saya. Alquranschool namanya, selain proyek baru ODOJ (OneDayOneJuz) yang juga mulai saya ikuti.

Sertifikat dan Hadiah dari Global Quran School

Saya terkesima dan salut dengan kerja para relawan dari Al-Quran School ini. Saya menyebutnya relawan karena selama saya belajar kepada mereka saya belum pernah membayar sepeser pun. Justru mereka yang datang ke Jepang, mengadakan acara “wisuda” dan memberi sertifikat serta hadiah kepada kami, para muridnya, padahal negeri mereka, Mesir, sedang carut-marut dilanda konflik perebutan kekuasaan. Pada gambar diatas tampak sertifikat yang saya terima, selain hadiah berupa gantungan kunci keren dan mushaf Al-Quran mungil dan ringkas dibawa kemanapun.


Bagaimana cara belajar Quran via Skype dari Global Quranic School ini? Video di bawan ini adalah salah satu screencast saya ketika mengikuti kelasnya. Dibimbing oleh seorang sheikh dari Mesir, kita satu persatu dibimbing untuk membaca Al-Quran dengan baik dan benar. Materi membaca Quran (sekaligus hafalan) dimulai dari surah Al-Fatihah kemudian dilanjutkan An-Nas, Al-Falaq dan begitu seterusnya kedepan. Cukup efekti dan efisien, namun dibutuhkan komitmen dan kejujuran karena guru kita berada nun jauh disana, tidak bisa melihat kita dengan langsung, khususnya saat ujian.

Di Jepang, kebanyakan peserta kelas Al-Quran ini adalah warga negara India, Pakistan dan Bangladesh sebagai etnis mayoritas muslim di Jepang. Selanjutnya satu-dua orang dari Indonesia dan mungkin negara lain, termasuk saya.

Dibanding kursus online berbasis MOOC, Global Quranic School memang tidak secanggih mereka khususnya dalam metodologi pengajaran, sistem maupun silabus pembelajaran. Namun disisi lain, seperti pemberian sertifikat, mereka memberikan printed edition alias hardcopy sertifikat asli, tidak seperti MOOC yang hanya memberikan softcopy pdf saja dengan batasan tertentu.

Note:
Tools yang diperlukan untuk belajar Al-Quran via Global Quranic School: Skype, Idroo, Awapp, dan koneksi internet yang lancar.

Belajar Membaca Al-Quran di Global Quran School

Tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat, begitu sabda baginda Nabi. Belajar agama (sebagian ahli berpendapat bahwa yang diwajibkan hanyal ilmu agama saja), juga harus dilakukan dari kecil sampai ajal menjemput. Sebagai usaha untuk mentaati hadist tersebut, meski sudah belajar ngaji Quran sejak kecil, sampai kini saya masih belajar dan akan terus belajar, khususnya belajar Islam dan membaca Quran dengan baik dan benar. Dari orang-tua, TPA, sekolah umum, pesantren hingga beberapa ustadz, ulama dan kyai, saya pernah berguru kepada mereka. Berganti zaman, kini guru ngaji saya bertambah, si internet dengan mbah gugel yang super jenius dan beberapa halaman  (web page) favorit saya. Alquranschool namanya, selain proyek baru ODOJ (OneDayOneJuz) yang juga mulai saya ikuti.

Sertifikat dan Hadiah dari Global Quran School

Saya terkesima dan salut dengan kerja para relawan dari Al-Quran School ini. Saya menyebutnya relawan karena selama saya belajar kepada mereka saya belum pernah membayar sepeser pun. Justru mereka yang datang ke Jepang, mengadakan acara “wisuda” dan memberi sertifikat serta hadiah kepada kami, para muridnya, padahal negeri mereka, Mesir, sedang carut-marut dilanda konflik perebutan kekuasaan. Pada gambar diatas tampak sertifikat yang saya terima, selain hadiah berupa gantungan kunci keren dan mushaf Al-Quran mungil dan ringkas dibawa kemanapun.


Bagaimana cara belajar Quran via Skype dari Global Quranic School ini? Video di bawan ini adalah salah satu screencast saya ketika mengikuti kelasnya. Dibimbing oleh seorang sheikh dari Mesir, kita satu persatu dibimbing untuk membaca Al-Quran dengan baik dan benar. Materi membaca Quran (sekaligus hafalan) dimulai dari surah Al-Fatihah kemudian dilanjutkan An-Nas, Al-Falaq dan begitu seterusnya kedepan. Cukup efekti dan efisien, namun dibutuhkan komitmen dan kejujuran karena guru kita berada nun jauh disana, tidak bisa melihat kita dengan langsung, khususnya saat ujian.

Di Jepang, kebanyakan peserta kelas Al-Quran ini adalah warga negara India, Pakistan dan Bangladesh sebagai etnis mayoritas muslim di Jepang. Selanjutnya satu-dua orang dari Indonesia dan mungkin negara lain, termasuk saya.

Dibanding kursus online berbasis MOOC, Global Quranic School memang tidak secanggih mereka khususnya dalam metodologi pengajaran, sistem maupun silabus pembelajaran. Namun disisi lain, seperti pemberian sertifikat, mereka memberikan printed edition alias hardcopy sertifikat asli, tidak seperti MOOC yang hanya memberikan softcopy pdf saja dengan batasan tertentu.

Note:
Tools yang diperlukan untuk belajar Al-Quran via Global Quranic School: Skype, Idroo, Awapp, dan koneksi internet yang lancar.

Terpaksa Harus Korupsi (4, Epilog)

Akhirnya, setelah berkoar-koar tentang Para Pencuri Gaji, Korupsi Telah Mendarah Daging, Anti Korupsi: Belajar Kejujuran dari Pengemudi Taksi, toh akhirnya kita terpaksa harus korupsi juga. Ironis memang, tapi kalau tidak korupsi, kita tidak akan mendapatkan hak-hak kita. Sistem-lah yang memaksa kita untuk korupsi. Ketika mengurus dokumen administrasi di pemerintahan seperti KTP, Paspor,  ketika mengajukan SIM, ketika ditilang, atau membuat laporan pertanggung-jawaban bagi pegawai pemerintah.

Dalam kaitan korupsi secara luas, yakni KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), dua perkara bisa kita cegah yakni korupsi dan nepotisme, namun untuk kolusi, kadang kita harus melakukannya untuk mendapatkan hak-hak kita.

Deklarasi Anti Korupsi parpol yang sebatas di mulut saja

Praktik kolusi yang terpaksa kita lakukan biasanya berkenaan dengan pengurusan dokumen administrasi pemerintahan seperti dalam pembuatan akta kelahiran, ktp, surat nikah, SIM dan paspor. Kadang tak sungkan-sungkan, oknum pegawai negeri dengan terang-terangan meminta uang pelicin, padahal hal tersebut tidak ada dalam aturan resminya. Jika kita tidak membayar uang tersebut, maka dokumen administrasi seperti KTP tidak diberikan. Saya pernah mengalami hal ini, oknum aparat desa dengan cara halus meminta uang sebagai tebusan KTP saya. Begitu juga dalam pengurusan SIM, jika kita mengikuti prosedur resmi, cenderung untuk tidak lulus ujian SIM. Walhasil, terpaksa kita memanfaatkan jalur pintas dengan membayar uang pelicin kepada oknum polisi. Saya juga melakukan hal yang sama.


Saat mahasiswa, saya mulai mengenal birokrasi kampus dan pemerintahan yang ribet. Untuk mengajukan dana penelitian, kita diharuskan membuat anggaran dana yang terpaksa harus di mark up. Jika tidak di mark up, konon katanya anggaran yang disetujui lebih kecil, jadi anggaran tersebut di naikkan dulu, toh nanti yang disetujui juga lebih rendah. Belajar me-mark up anggaran dana ini bahkan sudah diajarkan pada pengurus organisasi semisal OSIS di tingkat SMA, mungkin juga mulai SMP. Jadi, sejak kecil kita sudah dididik untuk korupsi. Sistem di negara kita-lah yang salah dalam mendidik warganya.

Bila anggaran dana penelitian disetujui, dalam beberapa bulan kita akan diminta laporan pertanggung-jawabannya (LPJ). Padahal penelitian baru saja dimulai, terpaksa lagi kita harus merekayasa neraca keuangan penelitian supaya seimbang (balance sheet). Bila ditulis dengan jujur, hampir tidak mungkin membuat neraca keuangan yang seimbang (pemasukan=pengeluaran), namun sistem lah yang memaksa kita seperti itu. Pun, kita terpaksa harus berbohong dalam menulis laporan LPJ tersebut dengan merekayasa data dan anggaran yang terpakai dengan alasan yang sama: kalau tidak direkayasa, tahun depan kemungkinan penelitian kita tidak akan disetujui.

Di negara maju seperti Jepang, perjalanan dinas akan diganti oleh pemerintah yang mencakup uang transportasi, makan, hotel dan lain-lain dengan menunjukkan struk atau bukti pembayaran. Tak jarang, uang ganti tersebut melebihi dari jumlah uang sebenarnya yang kita keluarkan, jadi kita tidak perlu melakukan mark up untuk mendapatkan dana lebih besar. 

Dalam pengurusan dokumen administrasi yang lain, hampir di semua lini kita dipaksa untuk melakukan kolusi. Misalnya dalam pendirian sekolah atau lembaga pendidikan, organisasi, madrasah, tempat ibadah dan sejenisnya, kita dipaksa untuk mengeluarkan sejumlah uang agar pendirian lembaga tersebut disetujui oleh pemerintah. Setelah lembaga tersebut berdiri, untuk mendapatkan bantuan dana dari pemerintah yang seharusnya menjadi hak lembaga tersebut pun kita juga harus mengeluarkan uang. Taruhlah jika sebuah madrasah seharusnya mendapatkan bantuan pemerintah 10 juta setiap bulannya, maka 10% dari bantuan tersebut masuk (pada calo) proses untuk mendapatkan bantuan tersebut (dipotong setelah bantuan didapatkan).

Praktik KKN ini lebih parah terjadi pada birokrasi hukum di negeri kita. Tak sedikit para hakim, pengacara, dan jaksa yang terseret kasus korupsi, padahal seharusnya merekalah yang menjadi panutan penegakan hukum. Di tingkat bawah, misalnya di kantor imigrasi, praktik KKN ini menjelma dalam pelayanan yang mereka berikan seperti dalam pemilihan paspor yang hanya melayani tipe 48 halaman (padahal kita hanya butuh tipe 24 halaman, dan harganya jauh lebih murah) atau pun pembelian map untuk aplikasi paspor yang harganya hampir dua puluh ribu rupiah (padahal harga map sesungguhnya tak lebih dari seribu rupiah). Akhirnya dengan terpaksa kita menuruti alur tersebut, bahkan tak jarang kita juga harus melakukan kolusi agar aplikasi paspor kita disetujui atau dipercepat.

Dalam praktik bernegara yang katanya menganut faham demokrasi ini, di pemilihan kepala desa di sebuah kabupaten, total dana KKN untuk menyogok warganya bernilai 1 triliun. Uang sebanyak itu hanya berputar mungkin dalam satu hari saja. Ya mau bagaimana lagi, kalau tidak disogok, masyarakat kita tidak mau mencoblos untuk pilihan kepala desa / lurah. Di tingkat yang lebih tinggi, pemilu /pemilihan bupati, gubernur, anggota DPR/MPR, atau mungkin presiden, tentu nilai KKNnya lebih besar.

Gejala KKN di negeri kita sudah pada tahap akut sampai kita dididik untuk melakukan korupsi semenjak kecil. Mau tak mau, kita harus melakukan korupsi (lebih khusus lagi kolusi) untuk mendapatkan hak-hak kita. Jika tidak korupsi, hak kita terrampas. Siapa yang salah? Sistem lah yang salah, sistem negara kita yang sudah membudayakan korupsi di semua aspek kehidupan masyarakat. Rasulullah SAW sebagai panutan umat islam di Indonesia yang sebagian besar berhaluan ahlus sunnah waljamaah pernah bersabda,

Allah melaknat orang yang menyogok (risywah), penerima sogok, dan perantara keduanya (calo).

Ya Rasulullah, maafkanlah kami yang mengabaikan pesanmu. Kami terpaksa menyogok untuk mendapatkan hak-hak kami. Ya Allah, ampunilah hambamu ini. Jangan engkau laknat karena kami menyogok, Ampunilah kami ya Rabb.

Epilog

Meski terkadang kita harus melakukan KKN demi mendapatkan hak-hak kita, namun sebisa mungkin kita menghindarinya. Dan bila terpaksa dan sudah melakukannya, yang bisa kita lakukan hanyalah memohon ampunan Allah dan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi. Mari menjadi muslim yang baik, muslim yang taat pada perintah agama dan kita tunjukkan bahwa Islam benar-benar rahmatan lil alamin, rahmat bagi semesta alam. Mari menjadi Muslim Anti Korupsi.
#muslimantikorupsi

Terpaksa Harus Korupsi (4, Epilog)

Akhirnya, setelah berkoar-koar tentang Para Pencuri Gaji, Korupsi Telah Mendarah Daging, Anti Korupsi: Belajar Kejujuran dari Pengemudi Taksi, toh akhirnya kita terpaksa harus korupsi juga. Ironis memang, tapi kalau tidak korupsi, kita tidak akan mendapatkan hak-hak kita. Sistem-lah yang memaksa kita untuk korupsi. Ketika mengurus dokumen administrasi di pemerintahan seperti KTP, Paspor,  ketika mengajukan SIM, ketika ditilang, atau membuat laporan pertanggung-jawaban bagi pegawai pemerintah.

Dalam kaitan korupsi secara luas, yakni KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), dua perkara bisa kita cegah yakni korupsi dan nepotisme, namun untuk kolusi, kadang kita harus melakukannya untuk mendapatkan hak-hak kita.

Deklarasi Anti Korupsi parpol yang sebatas di mulut saja

Praktik kolusi yang terpaksa kita lakukan biasanya berkenaan dengan pengurusan dokumen administrasi pemerintahan seperti dalam pembuatan akta kelahiran, ktp, surat nikah, SIM dan paspor. Kadang tak sungkan-sungkan, oknum pegawai negeri dengan terang-terangan meminta uang pelicin, padahal hal tersebut tidak ada dalam aturan resminya. Jika kita tidak membayar uang tersebut, maka dokumen administrasi seperti KTP tidak diberikan. Saya pernah mengalami hal ini, oknum aparat desa dengan cara halus meminta uang sebagai tebusan KTP saya. Begitu juga dalam pengurusan SIM, jika kita mengikuti prosedur resmi, cenderung untuk tidak lulus ujian SIM. Walhasil, terpaksa kita memanfaatkan jalur pintas dengan membayar uang pelicin kepada oknum polisi. Saya juga melakukan hal yang sama.

Continue reading